Aku masih dalam balutan selimut tebal. Sobat karib yang slalu setia menemaniku sepanjang waktu. Beberapa hari terakhir ini, cuaca Kairo sudah tidak bersahabat. Dinginnya menusuk sampai ke tulang. Hembusan angin sepoi-sepoi bukan lagi sesuatu yang dirindukan karena bisa mengundang berbagai penyakit. Beginilah keadaaan Kairo pertengahan bulan. Berbagai aktifitas slalu terikat oleh cuaca. Tapi bagaimanapun bercengkrama dengan alam adalah suatu hal yang tidak pernah membosankan. Dalam banyak hal slalu memberikan ide dan inspirasi baru. Terlebih dalam kensunyian dan sepi.
Kasurku yang empuk memanjakan aku untuk tetap berbaring. Menambah nyaman keadaan. Menambah tajam daya imajinasi khayalku yang sejak tadi aku bangun. Walau hatiku sudah berontak untuk segera bangkit dan mengambil buku. Karena tak lama lagi ujian term pertama dimulai.
Sejenak pikiranku buyar. Terdengar suara ketukan pintu dari arah luar. Namun aku masih belum beranjak. Belum yakin kalau ada orang yang mengetuk. Beberapa saat hening dan terdengar kembali suara ketukan keras. Kali ini terdengar sangat jelas Aku berharap tuan guru Samiin yang datang. Kemarin memang ia udah janji jika ada waktu luang dia akanmengunjungiku guna berbagi cerita tentang pengalamannya saat menjadi imam di salah satu masjid di Nuzhah saat Ramadhan. “istanna”, sahutku dengan logat Mesir sambil berlari kecil ke arah pintu. Kuintip dari lubang pintu sebelum membuka. Terlihat sosok seorang berpakian jaket hitam rapi tapi aku belum melihat jelas wajahnya.
“siapa?”, tanyaku. “Asslamualaikum”, tuan guru ini saya.
“Ahlan, ahlan, ahlan”. Teriakku setelah melihat ternyata yang datang adalah salah satu sahabat dekatku. Seorang yang cukup berwibawa di hatiku.
“Dari mana antum?”, tanyaku
“biasa baru pulang kuliah”, jawabnya dengan nada agak rendah.
“rajin sekali antum ini kuliah setiap hari”,pujiku.
Kuliah di Al-Azhar University, seorang mahasiswa bisa masuk setiap hari itu merupakan sesuatu yang sangat luar biasa. Apalagi mahasiswa Indonesia yang rata-rata jarak antara kampus dan tempat tinggal paling cepat ditempuh satu jam perjalanan. Itu belum ditambah antrian nunggu bus.
“biasa aja kok”. Jawabnya merendah.
“silahkan istirahat di kamar dulu. Antum kelihatan capek sekali. Saya buatkan teh dulu biar hangat”. Lanjutku padanya.
Tuan guru, begitu aku biasa menyapa sahabatku yang satu ini. Itu adalah salah satu julukan yang biasa disematkan kepada orang-orang yang memiliki pengetahuan lebih dalam agama. Lebih-lebih kepada mereka yang menimba ilmu di timur tengah. Julukan ini asli kultur budaya lombok. Sebuah pulau yang berdampingan mesra dengan pulau Bali. Sebenarnya nama aslinya adalah Samiin Harianto. Tapi aku biasa memanggilnya dengan embel-embel awal tuan guru. Jadi tuan guru Samiin. Begitulah kira-kira.
Sebenarnya aku dan tuan guru Samiin datang ke Kairo pada tahun yang sama. Yaitu tahun 2005. Cuma karena tempat berdomisili yang berbeda sehingga hubungan emosional kami kurang rapat. Aku tinggal di Rob’ah El Adawea dan beliau tinggal di Saqor Qurays. Tapi setelah aku pindah ke Saqor Qurays, salah satu District di kota Kairo, kami sering saling mengunjungi. Baik itu untuk belajar bersama, diskusi, atau juga curhat. Karena saat ini apartemen tempat kami tinggal berdekatan. Hanya dipisah oleh beberapa bangunan saja.
Sikapnya yang ramah dan sopan membuat aku betah jika bicara dengannya. Tapi lebih dari itu ada hal yang membuat aku kagum. Dia seorang Hafidz. Salah satu tentara Allah SWT dimuka bumi. Beliau mulai menghafal Al-qur’an sejak mondok di Indonesia. Begitu ungkap teman sekamarku yang dulunya satu pondok dengannya. Dari sinilah cikal bakal kemudian ia sering digunakan menjadi imam terawih saat Ramadhan. Lebih lagi ditambah suaranya yang merdu. Membuat jamaah terasa nik’mat dan meresapi.
Ramadhan kemarin aku sempat ikut shalat terawih dengannya. Saat itu beliau menjadi imam. Subhanallah suaranya begitu merdu. Bacaan tajwidnya juga Fasih. Membuat aku betah berdiri walau surah yang di baca agak panjang.
“silahkan diminum tehnya”, aku sapa dia yang sedang berbaring diatas ranjang.
“oya…terima kasih tuan guru”. Jawabnya seraya bangkit dari perbaringan menghampiriku.
“Eh…ust.Dayat sebenarnya saya ke sini mau ngajak antum ke rumah. Saya ada sedikit rizki. Tadi saya beli ayam. Jadi kita ke rumah aja yuk… Entar di rumah aja kita cerita-cerita sambil masak. Gimana?”.
“Ok, tapi habisin dulu tehnya baru kita ke sana”. Jawabku.
Begitu biasanya kami bergaul sehari-sehari. Tidak jarang kami saling jemput jika membutuhkan sesuatu. Banyak pelajaran sosial yang aku dapat dari Tuan Guru Samiin semenjak aku bergaul dengannya. Selain jiwa tawaddu dan rendah hati, juga bagaimana selalu berusaha mensyukuri ni’mat. Berbagi dengan sesama jika memiliki. Jiwa sosial beliau memang sangat melekat. Persis seperti apa yang diajarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
“Udah siap?, kalau gitu ayo kita jalan ke rumah”. Ungkapnya tidak sabar.
“Ok ayo kita jalan”, jawabku sambil membenarkan leher jaketku yang belum rapi.
Tak sampai lima menit kami sudah ada di depan pintu apartemen Tuan Guru Samiin. Lantai empat. Kalau tadi dia yang bertamu kali ini giliran aku.
“silahkan masuk”, seraya membentangkan tangannya.
“terima kasih”, jawabku.
Aku langsung menuju kamarnya. Apartemen tempat beliau tinggal ada tiga kamar. Dihuni empat orang. Semua mahasiswa indonesia yang belajar di Universitas Al-Azhar.
“gimana persiapan ujiannya?, udah mantab rupanya?”.
“itu dia, ini lagi mempersiapkan”. Jawabnya.
“gimana Ramadhan yang akan datang dapat job jadi imam lagi g?”. tanyaku membuka
“insyallah tuan guru”. Jawabnya dengan logat lombok kental
“sebentar ya?”, seraya melepaskan jaketnya bergegas menuju dapur. Mataku tertuju pada beberapa tumpukan buku-buku islam tertata rapi disebelah kiri tembok. Diatasnya berdiri tegak bingkai foto seorang tokoh sufi Mesir. Disebelah buku-buku berjajar dua lemari besi ukuran sedang. Semuanya bersandar ke tembok. Ada dua kasur. Diranjang dan dipersis disebelah komputer. Melihat koleksi literatur islam yang dimiliki Tuan Guru Samiin, dalam hati aku bergumam bahwa ia memang pecinta Al-qur’an. Rata-rata buku tafsir dan ilmu al-qur’an. Seperti : tafsir at-tobari, tafsir wasid karya Syeik thantawi. Dan banyak lainnya. Tak jauh beda seperti etalasi yang ada di toko buku Atau perputakaan-perpustakaan.
Tak selang beberapa saat beliau tiba dengan dua cangkir syai panas. Begitu orang mesir biasa menyebut teh.
“silahkan di minum tuan guru”. Ungkapnya padaku
“oya…terima kasih” jawabku
“buku-buku tentang al-qur’annya banyak sekali, lagi sedang memperdalam al-qur’an dan ilmunya ya?” tanyaku memancing.
“biasa aja kok, hanya sekedar saja”. Jawabnya
“tapi memang al-qur’an dan ilmunya adalah kebutuhan kita. Tanpa menafikan ilmu-ilmu yang lain. Kita sebagai seorang muslim lebih-lebih mahasiswa Al-Azhar berkewajiban memperdalam dan menjaga Al-qur’an. Bukankah begitu?”. Imbuhnya dengan nada sedikit lebih serius dari sebelumnya sembari terseyum mesra.
“iya..ya..ya”. jawabku sambil manggut-manggut.
“Sepertinya ini saat yang tepat untuk bertanya tentang karirnya yang ia tekuni selama kurang lebih dua tahun ini setiap ramadhan tiba”. Gumamku dalam hati. Memang sahabatku satu ini tidak pernah main-main jika berbicara sesuatu yang berkaitan dengan al-qur’an.
“gimana side mengulang hafalan al-qur’an agar tidak lupa?. Dilain sisi diberatkan dengan materi kuliah dan kesibukan lainnya?”. Tanyaku sambil meniup syai agar lekas dingin.
“bagi saya al-qur’an merupakan kebutuhan. Jika dalam satu hari saya tidak membaca al-qur’an, saya akan merasa ada yang kurang dalam diri. Dan tidak ada yang bisa memberi ketenangan batin kepada saya kecuali dengan dzikir dan membaca al-qur’an”. Jawabnya santai sembari mengekspresikan dengan gerakan tangan.
“gimana nih ramadhan tahun ini?, masih akan tetap menjadi imam di masjid Batowiyah Nuzhah?”. tanyaku
“insyallah” jawabnya
“suara sangat menentukan seorang imam. Bagaimana menjaga suara supaya tetap fit. Bukankah masalah suara sangat sensitif, salah makan sesuatu aja sudah sangat berpengaruh?” ungkapku menghujaninya dengan pertanyaan. Kali ini aku duduk dengan kedua kaki lurus kedepan. Merubah posisi yang dari tadinya duduk bersila.
“ya benar itu”. Sahutnya.
“makanya kalau sudah datang jadwal jadi imam saya harus ektra hati-hati memilih makanan. Tidak boleh makan yang terlalu berminyak. Waktu istirahat juga harus teratur”. Imbuhnya
“wah…kayak artis aja ya?, ada jadwal manggungnya dan segala halnya harus dipersiapkan dengan maksimal”. Cetusku seraya disambut tertawa kami berdua.
“ah…antum bisa aja”. Ungkapnya. Masih diikuti tawa kami berdua
“tapi memang seperti itu. Sedikit saja kita melalaikan persiapan akan sangat mempengaruhi performa saat menjadi imam. Khususnya dalam hafalan dan suara”. Kali ini ia berbicara dengan nada sedikit agak serius.
Secangkir Syai yang tadinya kutiup karena panas saat ini sudah hangat bahkan dingin. Aku mencoba meneguk beberapa tegukan. Aku tidak mengerti mengapa aku ragu-ragu melayangkan pertanyaan yang satu ini. Tapi aku berusaha untuk berani bertanya.
“dalam satu bulan penuh menjadi imam saat ramadhan, berapa royalty yang diberikan?”. Tanyaku memberanikan diri.
“hahhhh….!”. seakan ia terperanjat kaget.
“maaf royalty itu apa?”. Tanyanya menyambung dengan senyuman.
“royalty itu bisa diartikan uang saku, atau gaji, atau bisa juga upah”. Jawabku padanya. Tadinya aku sangka ia kanget karena tersinggung mendengar pertanyaanku. Ternyata ia tidak paham maksud royalty.
“Ooo…masalah itu tidak terlalu saya pikirkan”. Yang penting saya bisa mengamalkan ilmu itu sudah mendatangkan kepuasan tersendiri bagi saya”.
“tapi pasti ada kan?”. Tanyaku mendesak
“iyaa ada. Jumlah nominalnya kira-kira cukup deh buat biaya hidup dua bulan di Kairo ala mahasiswa Indonesia”.
Tiba-tiba saja handphoneku berdering. Terlihat dilayar tertulis nama seorang teman serumahku.
“maaf sebentar ya?” pintaku pada tuan guru Samiin Harianto sembari berlari kecil keluar menuju ruang tamu.
“silahkan”. Katanya
Beberapa saat aku angkat handphoneku dan kembali ke kamar.
“aduhh..maaf banget nih Tuan Guru. Saya harus segera pulang ke rumah karena teman serumah nunggu di depan rumah. Dia tidak bisa masuk karena tidak bawa kunci”. Ungkapku dengan nada melas.
“terus gimana makanan kita?, saya udah siapkan buat antum. Makan aja dulu”. Jawabnya memaksa.
“maaf deh lain kali aja” ungkapku.
“Jazaka Allah”.
Kuakhiri pembicaraan dan segera menuju pintu luar didampingi beliau.
“Terima kasih Tuan Guru. Asslamualaikum”.
Hidayatullah Ahmad Jazri Mahasiswa Al-Azhar University jurusan Hadist. 17 Maret 2009
Read more ....
|