Jumat, 03 Juli 2009
Cahaya Yang Tak Datang Terlambat 2
“Kok cengkehnya tidak diambil semua aja Pak haji?”, ungkap Pak Kajeng dengan nada akrab.

“santai aja masalah bayaran diurus belakangan. Yang penting kan kita saling percaya”. Imbuhnya sambil diiringi canda tawa mesra duduk di gerugak mungil samping toko.

Pak Kajeng begitu orang biasa memanggilnya. Tapi nama lengkapnya adalah Jero Kajeng. Salah satu juragan cengkeh di desa Tanjung saat itu. Konon dari cerita orang-orang tua dulu, dia pemilik sebagian besar lahan pertokoan di tanjung saat itu. Belum lagi tanah berhektar-hektar di celelos yang biasa ditanami cengkeh, coklat, kopi, dan fanili .

Sebenarnya Pak Kajeng seorang penganut agama Hindu. Tetapi susah bisa dibedakan saat dia bergaul dengan rekan-rekan muslim. Karena memang sahabat dan rekan bisnisnya mayoritas dari kalangan muslim. Dan dia tampak sangat bisa menikmati hal itu.
“ya secukupnya dulu Pak Kajeng. Insyallah ntar kalau sudah habis saya ambil lagi”. Jawab Pak Ahmad.

“silahkan sambil di minum kopinya”. Sambung Pak Ahmad.

“Ngomong-ngomong bagaimana kira-kira hasil panen cengkeh tahun ini? Apa akan lebih baik dari dua tahun yang lalu?”. Tanya Pak Ahmad

“Belum bisa ditentukan Pak Ahmad, tapi kemungkinan besar sih. Insyallah…”. Jawabnya mengakhiri kata.

Walau Pak Kajeng seorang Hindu dia sangat akrab dengan ungkapan-ungkapan islam. Seperti halnya kata “Insyallah”. Seringkali dia ungkapkan. Juga kata”Ahamdulillah”. Sering terdengar dari lisannya saat ditanya kabar berita. Atau sedang berkumpul dengan rekan-rekan muslimnya. Bahkan dia dalam banyak kesempatan selalu mengucapkan salam” Asslamualaikum” saat berjumpa atau akan berpisah.

Beginilah keharmonisan beragama yang terlihat di Tanjung. Saling menghormati antar pemeluk agama. Dalam artian setiap penganut agama bebas melaksanakan ritual agamanya masing-masing. Walau tidak dipungkiri terkadang terjadi gesekan antar kepercayaan. Biasanya hal ini ditengarai oleh kesalahpahaman antar anak muda. Sebenarnya bukan permasalahan agama. Tetapi lebih kepada masalah pribadi anak muda yang bertikai kemudian membawa nama agama sebagai tameng. Islam atau hindu contohnya. Sehingga orang-orang yang beragama hindu atau islam merasa terpanggil karena agamanya seakan dilecehkan. Padahal tidak seperti itu kenyataannya.

Salah satu contoh, pernah terjadi pertikaian antara kampung karang Bedil dan karang Bali. Karang Bedil adalah kampung yang dihuni seluruhnya oleh penganut islam. Sedangkan karang Bali dihuni oleh penganut hindu. Permasalahanya sih tidak rumit. Tidak seharusnya digiring kepada masalah agama. Hanya masalah nine. Begitu orang lombok biasa memanggil gadis muda. Ya…intinya hanya rebutan cewek. Si cewek beragama hindu sedangkan si cowok beragama islam. Mereka saling mencintai. Sedangkan ada pemuda hindu yang juga menaruh hati pada cewek tadi. Berbagai usaha telah dilakukan guna merebut hati sang cewek agar tidak lagi berhubungan dengan pemuda islam itu. Tetapi tidak membuahkan hasil. Si cewek benar-benar cinta padanya. Begitu juga sang pemuda. Karena merasa ia lebih berhak atas cewek tadi disebabkan memiliki kepercayaan yang sama, pemuda hindu tadi nekat mengambil langkah fisik.

Seperti halnya cerita-cerita peperangan. Diplomasi tidak membuahkan hasil, benderang perangpun ditabuh. Singkat cerita, suatu malam selepas magrib pemuda hindu itu bersama beberapa rekannya menyegat pemuda islam tadi yang baru kembali dari masjid. Diawali dengan cek cok kemudian adu fisik. Merasa kewalah menghadapi empat orang, pemuda islam tadi lari meminta bantuan rekan-rekannya. Selang beberapa saat ia kembali dengan segerombolan pemuda. Begitu juga pemuda hindu tadi memanggil beberapa rekan-rekannya yang lain. Beruntung beberapa orang-orang yang sedang berjualan di jalanan mencium gelagat mereka kemudian menghubungi pihak keamanan desa. Sehingga bentrolpun tidak terjadi.

Ini adalah contoh kecil beberapa gesekan yang tidak seharusnya dimasukkan dalam kategori agama. Tetapi lebih pada masalah pribadi.

“oya pak Ahmad saya pamit dulu. Anak-anak tadi sudah menunggu mau ke pura besakih mau sembahyangan. Lain waktu kita lanjutkan obrolan”. Ungkap pak Kajeng sembari manyalami tangan pak Ahmad.

“oya…silahkan”. Jawab pak Ahmad

“Assalamualaikum” ungkap pak Kajeng

“hehehe….pak Kajeng-pak Kajeng” gumam Pak Ahmad geleng-geleng kepada sambil tersenyum simetris.
posted by Hidayatullah Ahmad Jazri @ 17.22  
DAKWAH ALA SANTRI

Previous Post
Archives
SHOUT BOX