Aku masih termangu dalam lamunan panjang. Untain-untai syair tuhan yang terdengar dari balik jendela menambah tajam daya terawang hingga ke langit ke tujuh. Memori klasik masa lalu dan fenomena masa kini berbaur menjadi satu. Bahkan imajinasi masa datang sempat mencoba untuk kutata. Menatap sembari merenungi nasib bangsa yang belum kian lekas rampung. Tentang sebuah negeri penggalan surga yang masih teraniaya oleh penghuninya sendiri.
Saat ini di negeriku semua orang bisa berbicara sepuasnya. Terlepas dari salah benar, terlepas dari ahli atau tidak, setiap individu ingin mengekpresikan ketangguhannya. Tak tanggung-tanggung bahkan sampai rela sikut kiri, sikut kanan, jika perlu menikam. Tanpa memperhatikan baik atau tidak.
Sungguh mengherankan nasib bangsa yang tidak bosan-bosanya dengan istilah penjajahan. Sudah berabad-abad terjajah oleh tentara kolonialis belanda dan jepang, tapi setelah merdeka malah saling menjajah. Karunia tuhan yang berlimpah meruah dijadikan tempat praktik ketidakadilan. Kemerdekaan ini bukannya dijadikan kesempatan untuk mempererat persaudaraan, membangun kesatuan, bergandengan mesra dengan sesama. tetapi sebaliknya membuat sekat-sekat yang sangat sulit untuk di satukan. Yang ada hanya aku, aku dan golonganku. Selain itu berarti bukan aku. Enyahlah dariku.
Genderang perang globalisasi sudah tertabuh kencang. Semua negeri berjalan mempersiapkan segalanya bahkan berlari. Tetapi negeriku masih terlihat santai bahkan masih ada yang tertidur nyenyak. Terbawa hanyut oleh mimpi-mimpi indah. Terpesona oleh karunia yang seharusnya disyukuri tetapi malah sebaliknya. Bercita dalam angan. Berfikir instan. Apa karena kita terlalu dimanja tuhan sehingga kita tidak mau berusaha untuk melakukan sesuatu yang lebih?
Aku heran melihat moral anak-anak bangsa yang kian hari semakin tak jelas. Kian jauh dari cita-cita bersama. Kian ternodai oleh ketidakadilan, keserakahan, kesombongan, kemunafikan. Salah dalam menafsirkan kemajuan dan modern. Bingung menatap masa depan. Bahkan tak jarang kita lupa atau bahkan tidak tau orientasi hidup. Kemana dan kepada siapa kita akan kembali. Segempal firman tuhan dan berjilid hikmah langit kerapkali hanya dijadikan hiasan.
Aku tambah bingung melihat orang-orang yang seharusnya mengajarkan hikmah, malah sebaliknya.
Meditasiku buyar sesaat setelah angin kencang manghentak pintu kamarku. Lamunan panjang yang sedari tadi aku bangun tiba-tiba hilang. Apakah angin mendengar perihal pikirku? Atau memata-matai lamunanku? Atau … Tapi masih ada yang tersisa : “ aku masih heran dan bingung dengan negeriku”.
Hidayatullah Ahmad Jazri Saqr Qurays, Nasr City, Kairo, Egypt
|