Selasa, 09 September 2008
Maaf Cintaku


Matahari hampir menampakkan cahayanya dengan sempurna. wajah eloknya baru terlihat setengah dipermukaan. Pencaran sinar warna keemasan semakin menghiasi bumi. Seakan-akan tersenyum dan melambaikan tangan pada pulau yang hijau nan asri . Apalagi ditambah dengan bayground gunung tinggi dan beberapa bukit membuat panorama semakin tak bisa dilukiskan dengan kata. Begitu indah karya tuhan yang tidak ada sekutu bagiNya.
Jalan Mandalika pagi itu masih terlihat agak renggang. Hanya beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang dengan cepat seakan-akan ada yang dikejar. Mobil-mobil angkot dan beberapa tukang ojek yang rapi dengan jaket dan helm tutupnya mulai bermunculan dari arah utara. Ada yang membawa penumpang ada yang padat dengan barang,tetapi ada juga yang kosong tanpa penumpang dan barang. Semua menuju ke satu arah yang tampak ramai manusia.
Beberapa bus besar berjajar rapi di halaman yang memiliki luas sekitar 100 meter persegi. Pada pintu masuk tertempel sebuah tulisan besar Terminal Mandalika. Masing-masing bus memiliki tanda yang berbeda pada punggungnya. Ada yang bergambar berugak berkolaborasi dengan borobudur bertuliskan Karya Jaya. Ada yang beragambar binatang dan bertuliskan Safari Darma Raya. Dan banyak lainnya. Tertempel di depannya tulisan kecil, Mataram-Denpasar-Surabaya. Ada juga Mataram_Denpasar-Jakarta.
Ia masih asyik duduk menikmati kopi dan sepiring pisang goreng hangat yang berasalkan kertas putih sejenis bulletin. Itu memang bulletin dakwah Al-Furqon yang terbit perpekan. Karena dihalaman atas tertulis rubrik kajian . Suara tegukan kopinya mengisyaratkan bahwa kopi ini memang nikmat. Dari sudut warung terminal, matanya menggerayang ke semua arah keramaian sambil sesekali menghisap rokoknya yang hampir habis terkikis api. Kemudian mengepulkan asapnya keatas menyelinap melalui plapon yang terbuat dari asbes. Kembali ia teguk kopinya. Sambil meluruskan pandangannya kedepan. Tepat pada pisang goreng yang beralaskan kertas sejenis bulletin tadi.
Cipto begitu orang biasa menyapanya. Laki-laki paruh baya yang memiliki badan cukup padat. Kaos singlet yang ia gunakan mempertontonkan Lekukan tubuhnya yang kekar. Lengan kanan ada gambar tattoo naga sang penguasa. Dileher sebelah kiri tampak jahitan luka seperti bekas sabetan benda tajam. Matanya agak sayu seperti seorang pecandu alcohol dan narkoba.
Kini matahari sudah berada beberapa jengkal diatas gunung. Jika dilihat dari jantung kota seakan tergantung tanpa tali dan perekat diantara gunung dan langit biru. Panas terik sudah mulai terasa. Terminal disesaki banyak orang yang rata-rata membawa tas. Beberapa bus sudah ada yang berangkat sesuai jadwal pemberangktan.
Cipto beranjak bangun dari duduknya. Berdiri memandang ke deretan bus yang masih kosong penumpang. Ia hisap rokoknya dalam-dalam lantas membanting ke tanah dan menginjaknya. Melangkah dengan dada membusung ke arah deretan bus. Disantroninya satu persatu seperti layaknya seorang polisi yang sedang mencari teroris. Para supir dan kernet bus yang sudah mengenalnya, hanya tersenyum menyapa dengan seidikit hormat.
Kali ini ia tersenyum mesra sambil mengangguk melihat seorang pemuda menyeret koper kecil dengan tangan kiri,dan tas jinjing di tangan kanan memasuki sebuah bus tujuan Surabaya yang masih kosong penumpang. Dari gelagatnya tampak kalau pemuda itu bukan asli penduduk kota ini. Pemuda itu terlihat begitu lelah dan kebingungan mencari bus. Raut wajahnya menggambarkan kalau ia belum tidur semalamam.
kesempatan emas bagi Cipto. Tanpa buang-buang waktu ia hampiri pemuda yang sedang istirahat duduk di bangku tengah sebelah kiri.
Siang Mas…sapanya pada pemuda tadi
Siang juga…jawab pemuda itu dengan berusaha membuka matanya yang hampir terpejam dengan sempurna.
Ada yang saya bisa Bantu?. Tanya pemuda tersebut
Tanpa basa-basi Cipto berkata: Aku ingin duitmu.
Pemuda tadi begitu kaget mendengar permintaan Cipto. Ia sudah berfirasat kalau dia sedang dalam keadaan bahaya. Ia sedang berhadapan dengan seorang preman terminal. Tidak mungkin seorang normal meminta uang dengan cara seperti itu. Tapi Ia berusaha menyembunyikan ketakutan dan kekhawatirannya.
Aku g punya duit. Uangku hanya cukup buat ongkos sampai Surabaya. Ia jawab dengan ramah dan sopan. Kalau Cuma Rp5000 aku punya. Lanjutnya.
Hahaha…Cipto tertawa terbahak-bahak dengan mulut terbuka. Tetapi seketika Ia terdiam dan memandang pemuda itu kembali dengan wajah sangat tidak bersahabat.
Hei…anak muda aku sudah cukup sabar denganmu. Sekali lagi aku ulangi,tolong berikan aku isi dompetmu
Pemuda itu semakin katakutan. Rasa lelah dan kantuknya hilang seketika. Perilakunya serba salah. Ia menengok ke depan dan belakang tidak ada satupun orang terlihat yang bisa dimintai bantuan.
Maaf bang,uangku hanya cukup buat ongkos sampai Surabaya.
Serahkan dompetmu,ucap tejo dengan nada lebih kasar
Pemuda tadi masih saja bertahan dengan pendiriannya. Ia tetap tidak mau memberikan dompetnya pada Cipto.
Oh….kalau itu yang kau inginkan baiklah. Ujar Cipto sambil mengeluarkan sebilah pisau kecil dari kantungnya dan mengarahkan tepat diperut sang pemuda.
Mau serahkan atau tidak?aku berikan kau kesempatan sekali lagi.
Pemuda itu diam membisu tidak memberikan jawaban apapun. Seakan dia pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya.
Hei…kau punya mulut apa tidak?jawab pertanyaanku
Ia tetap saja tidak menjawab. Tak ada sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Cipto sudah kehilangan kesabaran. Tangan kirinya kini memegang leher baju sang pemuda. Tangan kanannya sudah siap untuk menancapkan sebilah pisau kecil pada perut pemuda.
Pemuda itu tetap diam dan pasrah tidak melawan sedikitpun. Aku hitung sampai tiga,ucap Cipto memberi aba-aba.
Satu…dua…
Pemuda itu memejamkan mata
Ti…ga…
Brukk….suara sebuah pisau tertancap.
Tidak…ucap Cipto keras.
Sungguh mengherankan Cipto kali ini terlihat begitu gugup. Keringatnya bercucuran begitu deras membasahi kaos singletnya. Tidak seperti biasanya. Ia terkenal sangat sadis tidak pernah memberi ampun bagi yang membantahnya. Dalam 2 minggu ini saja Cipto telah menusuk 2 orang mangsanya yang sukar memberikan apa yang ia inginkan. Tetapi alhamdulillah masih bisa tertolong. Bahkan bulan Februari lalu ada seorang kakek Ia tusuk sampai tak bernyawa karena berteriak dan melawan. Tetapi Cipto tetap bisa menghirup udara segar tanpa berurusan dengan polisi.
Ia berteriak seraya memandang ke langit-langit bus
Tidak…tidak…tidak…
Pemuda itu kaget mendengar teriakan Cipto. Ia tidak melihat sedikit lukapun ditubuhnya. Ternyata pisau itu tertancap pada busa kursi bus.
Cipto memandang kesana kemari dan berteriak tidak…tidak…persis seperti seorang yang sedang kesurupan. Jangan bunuh ibuku jangan bunuh Adikku teriak Cipto lagi.
Pemuda yang tadinya takut dan ingin berlari dari Cipto kini balik merasa iba dan kasihan melihat tingkah Cipto seperti seorang yang sedang kesurupan. Dipeluknya pemuda tadi sambil sesenggukan menangis.
Maafkan aku…maafkan aku…
Pemuda itu hanya diam bingung dengan apa yang terjadi.
Maafkan aku anak muda…aku janji tidak akan menggangumu lagi dan tidak akan menganggu siapapun.
Lantas Cipto menceritakan apa yang ia alami. Ia teringat pada sebuah hadist yang tanpa ia baca dari sobekan bulletin saat makan pisang goreng pagi tadi. Hadist seorang pemuda yang meminta izin kepada Rasul akan berbuat zina. Lalu Rasul berkata kepada pemuda itu,bagaimana jika yang kau zinai itu ibumu?bagaimana jika yang kau zinai itu adikmu?bagaimana jika yang kau zinai itu bibimu?.
Itulah yang membuatku tidak tega menusukkan pisau padamu. Aku terbayang akan ibu dan adik kesayanganku Bagaimana jika hal itu menimpa mereka
Maafkan aku...maafkan aku...
Cipto sudah bertaubat. Ia berjanji tidak akan melakukan kejahatan apapun lagi.
Aku akan menyayangi orang lain sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri dan keluargaku. Maafkan aku tuhan ucapnya sambil meneteskan air mata.


Hidayatullah Ahmad Jazri
El-Damardesh,Cairo,Egypt
24-08-2008


posted by Hidayatullah Ahmad Jazri @ 08.00  
0 Comments:
Posting Komentar
<< Home
 
DAKWAH ALA SANTRI

Previous Post
Archives
SHOUT BOX